Aku seorang wanita tua yang sudah berumur 60 kini aku sedang piknik bersama keluargaku, anakku, menantuku dan cucu kesayanganku. Mereka berkumpul di hamparan pasir sedangkan kami hanya berdua di atas bebatuan yang sering kali memercikkan air lautnya.
Ia cucuku yang sudah berumur 13 tahun, Jingga namanya. secantik orangnya.
"Nek, ayo makan" ajak cucu lelaki ku Bintang. sembari tersenyum aku menatap bidadari kecilku bertanya apakah dia mau makan atau melanjutkan cerita. dia menggeleng.
"Bintang, katakan pada ibumu aku dan jingga mau makan nanti saja", ia mengangguk dan berlari-lari kecil.
"Nak kita lanjutkan ceritanya yah?". "iyah nek". jawab jingga kecilku. mendesah pelan sambil sesekali beristighfar, kisah pahit ini sadah ku tutup selama berpuluh-puluh tahun.
Entah kenapa aku mengajak keluargaku menikmati desiran ombak di pantai ini. meski mereka tidak tau ada semilir angin kerinduan dalam setiap nafas pada satu tempat yang pernah melukiskan kebahagiaan bersama putih pasir dan segelas kopi. yah, ditempat ini ada sepucuk asa itu.
"Pantai Tampora namanya nak, dulu pantai ini tidak seperti ini, disana ada sebuah gubug indah tapi yang sekarang lebih indah," tapi tidak dengan masa lalu nya, estetikanya masih terasa meski berpuluh-puluh tahun lamanya.
"Dulu nenek bersama siapa kesini?" pertanyaan yang membuat ku sedikit kaget. "Lelaki yang seharusnya menjadi kakekmu" sambil tertawa dan mencubit hidung cucuku.
"Hahahaha, pernah ada kisah cinta ternyata toh" aku tersenyum kecut.
"Kisah cinta yang rumit ndok, nasib pahit kami karena alam tak merestui. tak semanis serealmu yang sering kau konsumsi tiap pagi". ku rasa cucuku sangat menikmati setiap kalimat-kalimat yang ku lontarkan.
"Nek, apakah nenek sangat mencintai lelaki itu? seperti apakah dia? lalu kenapa kalian terpisah?" pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya bisa kujawab sekaligus tapi tertahan oleh hati. bukan ingin menjawab pertanyaan cucuku tapi aku memilih berpesan,
"Anakku nenek punya pesan untukmu, nanti jika sudah besar jadilah anak perempuan yang kuat, jangan mudah kau tampakkan air mata hanya karna sakit hatimu. kau harus bisa jadi wanita paling tegar di antara temanmu yang dirundung masalah. belajarnya memahami keadaan dan situasi karna menjadi dewasa disaat tidak ada orang lain yang mau mendengarmu maka kau akan tetap berdiri tegak bagai cagak." dia mengangguk-angguk penuh arti, mencium tanganku dan memelukku.
"Nek aku paham apa yang nenek ucapkan, aku mengerti apa yang sebenarnya ingin nenek sampaikan, terima kasih atas kasih sayang mu selama ini nek, dan semoga dimanapun lelaki nenek itu berada dia akan tetap di kembalikan kepada nenek meski pada kehidupan yang selanjutnya" aku hanya tersenyum.
"sudah sana kamu makan dulu nenek masih suka disini" ia mengangguk dan bangkit.
Menatap gelombang pantai yang berdesak-desakan mengikuti arus, penuh ilustrasi penuh teka teki dan penuh penghayatan. tanpa terasa ada yang membasahi pipi. untuk sekian lama saya membuka kembali tabir nestapa di hadapan langit mendung beserta ratapan angin. bahkan jika ada kehidupan reinkarnasi saya memilih tidak pernah mengenalnya apalagi sempat ada harap yang terikat gemelut air mata.
Bahkan jika pernah bertemu sekali lagi saya memilih mengacuhkannya agar tak sempat bertukar nama. bahkan jika ada kehidupan di masa datang dan terlahir kembali saya memilih mencari Nandan suami saya yang sampai saat ini masih bersama saya dan selalu mampu berkata "Selamat pagi honey" setiap pagi. Mengusap dan membuka kotak yang sedari tadi ada disampingku yang di dalamnya terdapat foto-foto lelaki itu beserta seluruh pernak pernik kenangan. Saya tersenyum dan bangkit bukan untuk kembali ke alam kepahitan. tapi untuk membuang segala hal yang berkaitan tentangnya.
Semuanya harus lenyap pada titik ini, aku melemparnya jauh, jauh sekali. biarkan ia bersama irama nestapa yang ia ciptakan sendiri, biarkan ia menari dengan lenggak lenggoknya di bibir pantai ini, biarkan ia berkelana dengan bumi yang sudah hampir menua ini. ada perasaan lega yang ikut hanyut dengan hilangnya kotak berisi setan-setan kecil itu. aku kembali tersenyum dan sedikit terkejut karna tiba-tiba suamiku sudah memelukku. "Bagaimana perasaanmu sayang?" yah suamiku aku baik-baik saja mari kita berkumpul dan pulang, karna tujuan ku sudah selesai di pantai ini. hanya meniadakan apa yang seharusnya tiada.
Ia cucuku yang sudah berumur 13 tahun, Jingga namanya. secantik orangnya.
"Nek, ayo makan" ajak cucu lelaki ku Bintang. sembari tersenyum aku menatap bidadari kecilku bertanya apakah dia mau makan atau melanjutkan cerita. dia menggeleng.
"Bintang, katakan pada ibumu aku dan jingga mau makan nanti saja", ia mengangguk dan berlari-lari kecil.
"Nak kita lanjutkan ceritanya yah?". "iyah nek". jawab jingga kecilku. mendesah pelan sambil sesekali beristighfar, kisah pahit ini sadah ku tutup selama berpuluh-puluh tahun.
Entah kenapa aku mengajak keluargaku menikmati desiran ombak di pantai ini. meski mereka tidak tau ada semilir angin kerinduan dalam setiap nafas pada satu tempat yang pernah melukiskan kebahagiaan bersama putih pasir dan segelas kopi. yah, ditempat ini ada sepucuk asa itu.
"Pantai Tampora namanya nak, dulu pantai ini tidak seperti ini, disana ada sebuah gubug indah tapi yang sekarang lebih indah," tapi tidak dengan masa lalu nya, estetikanya masih terasa meski berpuluh-puluh tahun lamanya.
"Dulu nenek bersama siapa kesini?" pertanyaan yang membuat ku sedikit kaget. "Lelaki yang seharusnya menjadi kakekmu" sambil tertawa dan mencubit hidung cucuku.
"Hahahaha, pernah ada kisah cinta ternyata toh" aku tersenyum kecut.
"Kisah cinta yang rumit ndok, nasib pahit kami karena alam tak merestui. tak semanis serealmu yang sering kau konsumsi tiap pagi". ku rasa cucuku sangat menikmati setiap kalimat-kalimat yang ku lontarkan.
"Nek, apakah nenek sangat mencintai lelaki itu? seperti apakah dia? lalu kenapa kalian terpisah?" pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya bisa kujawab sekaligus tapi tertahan oleh hati. bukan ingin menjawab pertanyaan cucuku tapi aku memilih berpesan,
"Anakku nenek punya pesan untukmu, nanti jika sudah besar jadilah anak perempuan yang kuat, jangan mudah kau tampakkan air mata hanya karna sakit hatimu. kau harus bisa jadi wanita paling tegar di antara temanmu yang dirundung masalah. belajarnya memahami keadaan dan situasi karna menjadi dewasa disaat tidak ada orang lain yang mau mendengarmu maka kau akan tetap berdiri tegak bagai cagak." dia mengangguk-angguk penuh arti, mencium tanganku dan memelukku.
"Nek aku paham apa yang nenek ucapkan, aku mengerti apa yang sebenarnya ingin nenek sampaikan, terima kasih atas kasih sayang mu selama ini nek, dan semoga dimanapun lelaki nenek itu berada dia akan tetap di kembalikan kepada nenek meski pada kehidupan yang selanjutnya" aku hanya tersenyum.
"sudah sana kamu makan dulu nenek masih suka disini" ia mengangguk dan bangkit.
Menatap gelombang pantai yang berdesak-desakan mengikuti arus, penuh ilustrasi penuh teka teki dan penuh penghayatan. tanpa terasa ada yang membasahi pipi. untuk sekian lama saya membuka kembali tabir nestapa di hadapan langit mendung beserta ratapan angin. bahkan jika ada kehidupan reinkarnasi saya memilih tidak pernah mengenalnya apalagi sempat ada harap yang terikat gemelut air mata.
Bahkan jika pernah bertemu sekali lagi saya memilih mengacuhkannya agar tak sempat bertukar nama. bahkan jika ada kehidupan di masa datang dan terlahir kembali saya memilih mencari Nandan suami saya yang sampai saat ini masih bersama saya dan selalu mampu berkata "Selamat pagi honey" setiap pagi. Mengusap dan membuka kotak yang sedari tadi ada disampingku yang di dalamnya terdapat foto-foto lelaki itu beserta seluruh pernak pernik kenangan. Saya tersenyum dan bangkit bukan untuk kembali ke alam kepahitan. tapi untuk membuang segala hal yang berkaitan tentangnya.
Semuanya harus lenyap pada titik ini, aku melemparnya jauh, jauh sekali. biarkan ia bersama irama nestapa yang ia ciptakan sendiri, biarkan ia menari dengan lenggak lenggoknya di bibir pantai ini, biarkan ia berkelana dengan bumi yang sudah hampir menua ini. ada perasaan lega yang ikut hanyut dengan hilangnya kotak berisi setan-setan kecil itu. aku kembali tersenyum dan sedikit terkejut karna tiba-tiba suamiku sudah memelukku. "Bagaimana perasaanmu sayang?" yah suamiku aku baik-baik saja mari kita berkumpul dan pulang, karna tujuan ku sudah selesai di pantai ini. hanya meniadakan apa yang seharusnya tiada.
DMY
Tags:
Cerpen