Nampak seorang perempuan sedang menikmati indahnya senja |
Situbondo, himmahkpi.com Cerita ini ditulis jauh setelah perempuan pendiam yang memiliki rambut lurus seperti menyatu dengan angin yang meniupnya, menikah dengan laki-laki yang gila bekerja.
Perempuan itu tidak semenyedihkan seperti yang orang lain bayangkan. Dia memiliki keyakinan penuh bahwa suatu hari suaminya akan seromantis cerita-cerita pendek yang sering dibacanya.
Cerita ini bermula saat perempuan itu menatap suaminya di sebuah ruang yang terbilang cukup luas. Ada banyak buku memenuhi rak yang menempel pada tiap dinding. Suaminya seorang penulis artikel yang selalu membahas dunia perpolitikan, sedikit pun tidak pernah menyinggung soal asmara. Bahkan dia lupa kapan terakhir kali ia mengucapkan cinta pada istrinya.
Bagi perempuan itu, menatap suaminya adalah pekerjaan paling menyenangkan. Menemani sang suami di ruang kerjanya sampai larut malam. Meski laki-laki itu tidak sadar. Kadang sadar, tapi mengabaikannya. Seperti ia sendiri saja dalam ruangan. Bahkan ia tidak pernah sadar mengapa tempat itu tidak pernah pagi, siang, dan malam. Selalu saja seperti sore, dengan warna jingga kemerah-merahan. Hangat, lembut dan tidak menyilaukan.
Nampak sebuah ruang yang selalu terlihat seperti sore hari dengan dindingnya yang berwarna jingga kemerah-merahan |
“Aku yakin, suatu hari dia akan melihat ke arahku sebagai seorang istri, atau paling tidak sebagai perempuan, dengan cinta dan perasaan-perasaan,” begitu yakinnya.
Perjodohan yang rumit. Harusnya mereka saling jatuh cinta saat mengikat janji. Harusnya mereka saling menatap sesaat sebelum matahari terbenam, lalu saling berpelukan. Harusnya mereka sama-sama melihat bintang dari daun jendela. Dan semua itu hanya berakhir sebagai pengandaian.
Setiap pukul lima sore, perempuan itu selalu berdiri di atas atap rumahnya, memandang ke arah barat. Tepat sebelum matahari benar-benar tumbang dan warnanya matang, perempuan itu selalu mengambilnya. Mengambil senja. Kemudian memasukkannya ke dalam toples.
Perempuan itu tidak pernah absen mengambil senja, setiap sore. Ia suka meletakkannya di meja kerja suaminya. Meski ada lampu duduk, ia lebih suka jika senja itu menemani sang suami.
Beberapa bulan setelah mereka menikah dan membeli rumah, malam lebih cepat dari biasanya. Seperti curang pada angka dalam putaran jam. Belum waktunya petang tapi sudah gelap saja. Tapi tak ada yang mempermasalahkan. Orang-orang jadi terbiasa. Lampu-lampu sudah dihidupkan satu jam sebelum langit berubah gelap.
Di sebuah ruang kerja, suaminya sibuk memandang layar laptop. Tidak sekalipun beralih pada perempuan itu. Hal tersebut terjadi setiap hari, baru saat si lelaki ke kamar mandi dan berpapasan, laki-laki itu tanpa sengaja melihat seorang perempuan duduk di atas sofa maroon dengan tenang. Setelah itu, tidak ada lagi tolehan kedua kalinya dengan alasan sengaja.
Hal itu berlangsung lama, lama sekali. Sampai mereka lupa cara bertegur sapa.
Maka, ada hari ketika jenuh dan lelah dirasakan si istri. Dia memutuskan berhenti berharap. Toples-toples berisi senja yang selama ini dikumpulkannya, dibiarkan begitu saja memenuhi sebuah lemari besar di sudut ruang kerja suaminya. Berjejer rapi. Sedang perempuan itu masuk ke dalam toples kosong, menjelma senja yang baru.
Sore ini berbeda dari sore-sore biasanya di kota harapan, matahari tidak terbenam dengan cepat. Senja berlangsung sangat lama. Seperti dua kali lipat lebih lama dari sore pada umumnya.
Ruang kerja laki-laki itu terasa lebih hangat, cahayanya lebih lembut dari biasanya. Si suami merasa ada yang aneh dengan ruang kerjanya. Ia pun menyingkap gorden, melihat keluar kalau-kalau di luar ada yang tidak beres. Ternyata benar. Ini sudah menunjukkan jam enam sore, dan senja masih berada di atas garis cakrawala.
Ditambah seharian ini tidak ada makanan tersedia di meja makan. Ada yang lebih tak habis pikir. Dimana perempuan yang biasanya duduk di sofa itu, pikirnya.
Ia mulai berusaha tidak peduli dengan hal-hal mengganjal hari ini. Ia terus saja menulis. Ia harus menyelesaikan tulisannya sebelum matahari terbit lagi. Media cetak maupun elektronik, esok hari harus dipenuhi tulisannya. Lalu honor-honor akan memenuhi rekening laki-laki itu sampai tidak terhitung angkanya.
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Tapi ruangan itu seperti sedang sore hari, sore yang tidak silau, sore yang lembut, sore yang memiliki senja cemerlang. Terang seperti siang, tapi sedikitpun tidak menyakiti pandangan. Meja kerjanya lebih terang dari hari-hari biasa.
Tiba-tiba cahaya dari lemari besar di sudut ruangan menerabas keluar. Belum selesai keterkejutan si suami, perempuan yang menjadi isrinya keluar dari sebuah toples. Senja di meja kerjanya hilang.
“Aku pamit dengan membawa serta anak-anak senjaku.”
“Ke mana?”
“Ke tempat dimana senja mengabadi.”
“Jangan.”
“Kenapa?”
“Tetaplah di dalam toples, tidakkah kamu menganggapku suami?”
“Untuk menemanimu bekerja?”
“Untuk menjadi senja abadi di kota harapan.”
Toples-toples itu adalah senja di kota harapan yang sekarang menjadi replika kota senja abadi, di dalam toples.
Wilda Zakiyah
Mahasiswa semester 1, jurusan Dakwah prodi KPI STAINH, beberapa karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak dan online. Penulis puisi, cerpen, esai, dan prosa, serta pegiat literasi di kotanya. Penulis bisa dihubungi di email : Zakiyahwilda@gmail.com.
Tags:
Cerpen